1
KOTA YANG INDAH
sangant kecil dengan para penduduk yang hanya berjumlah sekitar 100 orang dengan
23 kepala rumah tangga. Desa itu bernama desa Dahi. Mereka bertahan hibup hanya
dari bercocok taman dan mencari ikan di sungai yang terbentang luas membelah daratan
kerajaan Eric’.
Desa ini begitu damai, tanpa ada satupun penduduknya yang memiliki keahlian dalam
bertarung.
Suasana pagi itu di desa, penuh di selimuti embun. Seorang laki-laki terlihat berjalan
santai dengan membawa sebuah cangkul yang di sandarkan di bahunya.
Dengan pakaian lusuhnya menandakan bahwa ia orang yang sederhana dan cukup
bahagia dengan hidup yang ia miliki.
Sesampainya di ladang, dia lekas memeriksa semua tanamannya secara terperinci. Ada
beraneka macam tumbuhan yang ditanamnya, dia petani yang sangat pintar, dengan
perhitungan yang terperinci, membuat panennya selalu bagus di setiap tahunnya.
Pria dengan usia sekitar 34 tahun ini bernama Yanko Abu Masayi, yang telah memiliki
istri bernama Haity dan 2 anak laki-laki.
Dia memiliki seorang teman yang sangat tangkas dalam mencari ikan di sungai, dan
selalu berangan-angan untuk menjadi salah satu tentara perang kerajaan, yang bertugas
menjaga ibukota Katana. Kota yang sangat indah, itulah yang selalu di ucapkan olehnya
pada Yanko. Orang ini bernama Wezi. Dia pun telah memiliki seorang anak laki-laki.
Di sore hari itu, seusai bertani mereka merancanakan untuk pergi kesungai untuk
mencari ikan, dan kebetulan pada saat itu, sungai yang melintasi desa mereka tersebut tengah di banjiri oleh ikan-ikan kiriman dari lautan Terania. Lautan luas di bagian utara
kerajaan Eric’.
Dengan hanya bermodal perahu kecil dan alat penangkap ikan seadanya yang mereka
milikai, Yanko dan Wezi siap memanen ikan dengan rasa riang dan gembira.
Saat tengah asik menangkap ikan dengan jerami kecil, mereka di kejutkan seekor ikan
dengan ukuran yang sangat besar. Satu kibasan ekor siripnya, seketika perahu yang di
kenakan mereka hancur, hanya meninggalkan serpihan–serpihan kayu sebagai sandaran
agar tetap berada di permukaan air.
Yanko dan Wezi yang sedang berusaha agar tetap barada di purmukaan air. Bgitu sangat
cepat sang ikan berenang menuju mereka, Wezi yang menyadari hal itu, mencoba
mempertahankan diri dengan serpihan kayu yang berbentuk tombak, mengarahkan pada
ikan raksasa yang berenang cepat menuju kearahnya itu.
Serangan pertama berhasil di halau olehnya dengan menancapkan serpihan kayu pada
mata ikan tersebut, yang membuat sang ikan raksasa berenang menuju arah lain. Wezi
sedikit merasa tenang dan sangat bersyukur karena nyawanya berhasil selamat, namun
tetap dengan penuh kewaspadaan.
Sedangkan Yanko masih terus berusaha berada di atas permukaan karena kemampuan
renangnya yang tidak terlalu mahir, tanpa memikirkan apapun dan seakan tak sadar
dengan bahaya yang mengintai mereka berdua.
Melihat temannya tersebut Wezi langsung berenang menuju Yanko sambil membawa
serpihan kayu yang cukup besar untuk di berikan kepada Yanko sebagai sandaran agar
tetap berada di atas permukaan air. Namun di tengah perjalanan menuju Yanko, Wezi
kembali di serang oleh ikan raksasa. Tanpa mampu menghindar, serangan sang ikan
raksasa tersebut tepat mengenai salah satu kakinya, tanpa ampun ikan raksasa itu
dengan sekejap mematahkan kakinya, dan wezi pun terpental cukup jauh.
Yanko yang melihat kejadian tersebut dengan sangat jelas, membuat tubuhnya gemetar
di penuhi rasa takut yang menggila. Matanya menjadi kosong. Dengan setengah sadar
Wezi mengisyaratkan pada Yanko untuk segera menuju tepi sungai.
“cepat pergi bodoh!!!” Dengan mengumpulkan tenaga yang tersisah, wezi meneriakan
kepada Yanko agar segera pergi.
Yanko yang tengah melamun karena rasa takutnya itu, tersadar mendengar suara Wezi..
“heeeeiiii, apa yuang kau lakukan!, pergi!!, cepat pergiiii!” Kembali wezi meneriakan
kepada Yanko agar segera pergi.
Dengan berpegangan pada sepotong kayu Yanko berenang menuju tepi sungai.
Meninggalkan Wezi sendiri.
Agar ikan tersebut tak mengincar Yanko, Wezi memanfaatkan darahnya yang begitu
banyak untuk memancing ikan raksasa itu agar kembali menyerangnya, dan
memberikan sedikit waktu kepada Yanko untuk menuju tepi sungai.
Sesampainya di tepi sungai Yanko segera meninggalkan tempat itu tanpa sekalipun
menoleh kembali kearah sungai tersebut. Deburan ombak masih terus terdengar di
telinga Yanko.
Tak seberapa jauh Yanko berjalan, suara sungai kembali tenang. Menyadari hal tersebut
Yanko terdiam sejenak menghentikan langkahnya. Tanpa tersadar air matanya menetes
begitu deras. Ia menyadari kembali tenangnya suara sungai, menandakan temannya
telah tiada, di telan ikan raksasa tersebut.
Yanko merubah arahnya untuk pulang, menuju tengah hutan, untuk melampiaskan
amarahnya atas ketakberdayaannya hingga membuat sahabat karibnya mati dengan
teragis, di depan matanya sendiri demi menyelamatka dirinya.
Bersambung......